Selasa, 21 Agustus 2007

Tugas Akhir PTK


DAMPAK SIARAN TELEVISI
Kekuatan kotak elektronik yang bernama televisi ternyata begitu luar biasa merasuk dalam kehidupan kita. Televisi, si kotak ajaib yang keberadaanya sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, seringkali menimbulkan kecemasan bagi orangtua yang anaknya masih kecil. Cemas jika anak jadi malas belajar karena terlalu sering nonton televisi, cemas jika anak meniru kata-kata dan adegan-adegan tertentu, cemas jika mata anak jadi rusak [minus], dan cemas jika anak menjadi lebih agresif karena terpengaruh oleh banyaknya adegan kekerasan di televisi. Sayangnya, sampai saat ini media televisi masih menjadi alternatif pilihan utama bagi penonton, karena media televisi sebagai media informasi dan hiburan yang hingga kini masih melahirkan pengaruh yang baik dan buruk bagi perkembangan psikologis dan perilaku pemirsanya, termasuk anak-anak.
Televisi sebagai media yang memiliki sifat audiovisual mampu menghadirkan kejadian, peristiwa, atau khayalan-khayalan semata seperti film laga dari luar negeri [import] yang banyak sekali mengandung unsur kekerasan, percintaan yang telah banyak menyimpang dari budaya kita. Atau sinetron-sinetron remaja dalam negeri yang cenderung mengangkat tema kekerasan, sadisme, kebencian, permusuhan, percintaan, gaya hidup menengah keatas serta mendukung pola hidup konsumtif dan hedonisme. Belum lagi tayangan mancanegara seperti telenovela atau video klip yang juga mengandung unsur-unsur pornografi dan pornoaksi, sehingga anak-anak dibawah umur lah yang paling cepat terpengaruh oleh tayangan televisi, dengan anggapan apa yang disiarkan televisi adalah sebuah kenyataan dan kebenaran.
Berbagai tulisan, kertas kerja, dan penelitian bahkan seminar-seminar, lokakarya, simposium yang ditulis dan dibicarakan oleh para pakar dan para ahli dibidangnya memperdebatkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh media televisi. Tudingan miring mengenai kebobrokan televisi sebenarnya sudah merebak sejak kelahirannya pada era tahun 1950.
Konsumen media televisi tidak hanya para kalangan orang tua, dewasa, remaja, tetapi juga dari kalangan anak-anak. Yang dikhawatirkan dari kalangan orang tua adalah anak-anak yang belum mampu membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang pantas dan tidak pantas, karena media televisi mempunyai daya tiru yang sangat kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
Dr Hardiono D Pusponegoro SpA(K), spesialis anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta memaparkan, otak berfungsi merencanakan, mengorganisasi, dan mengurut perilaku untuk kontrol diri sendiri, konsentrasi, atau atensi. Otak juga berfungsi menentukan baik atau tidak. "Pusat di otak yang mengatur hal ini adalah korteks prefrontal yang berkembang selama masa anak dan remaja,". Hardiono menambahkan, "Menonton televisi saat masa anak dan remaja berdampak jangka panjang terhadap kegagalan akademis umur 26 tahun." Dalam penjelasan Hardiono, hanya dari menonton televisi saja otak kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dari kesempatan berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain, bermain kreatif dan memecahkan masalah. Selain itu televisi bersifat satu arah, sehingga anak kehilangan kesempatan mengekplorasi dunia tiga dimensi serta kehilangan peluang tahapan perkembangan yang baik. "Dalam riset yang saya baca ini, malah dianjurkan untuk anak dibawah usia 5 tahun, disarankan tidak usah menonton televisi sama sekali," tegasnya.

Dampak Buruk Televisi bagi Perkembangan Anak
Penelitian lain yang dilakukan Liebert dan Baron dari Inggris, menunjukkan hasil: anak yang menonton program televisi yang menampilkan adegan kekerasan memiliki keinginan lebih untuk berbuat kekerasan terhadap anak lain, dibandingkan dengan anak yang menonton program netral [tidak mengandung unsur kekerasan]. Efek jangka panjang soal kekerasan ini juga dipaparkan Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog dari universitas Indonesia. Menurut psikolog yang sering meneliti soal perilaku kekerasan ini, semakin sering anak menonton program TV dengan muatan kekerasan semakin tinggi kecenderungan menjadi agresif saat beranjak dewasa. Tayangan televisi yang mengandung kekerasan dapat meningkatkan pikiran-pikiran mengenai permusuhan pada anak dan mengurangi kecenderungan anak untuk membantu orang lain. Pendapat serupa dengan Sarlito pernah dilontarkan oleh Professor L. Rowell Huesmann, dari University of Michigan, yang meneliti pengaruh kekerasan pada media televisi terhadap perubahan perilaku. "Efek yang ditimbulkan mungkin tidak langung, tapi akan muncul ketika si anak mulai dewasa kelak." Pendapat ini dibenarkan oleh Professor Jonathan Freedman dari University of Toronto Kanada, "Ilmu pengetahuan membuktikan, tayangan kekerasan tersebut juga ikut membantu melahirkan generasi pelaku kekerasan."
Kembali pada riset soal dampak televisi, dari penelitian terhadap 260 anak-anak Sekolah Dasar [SD] yang ada di Jakarta, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia [YKAI] membuktikan televisi ternyata medium yang banyak ditonton dengan alasan paling menghibur. Kenyataan ini menunjukkan bahwa televisi menjadikan media yang benar-benar diidolakan oleh anak-anak. Anak-anak lebih bersifat pasif dalam berinteraksi dengan televisi, bahkan seringkali mereka terhanyut dalam dramatisasi terhadap tayangan yang ada di televisi. Hal lain yang merupakan imbas dari menonton televisi pada anak-anak adalah munculnya gejala obesitas [kegemukan]. Dr. Endang Darmoutomo, MS, SpGK, Spesialis Gizi Klinik dari RS Siloam Gleneagles Karawaci Banten, mengatakan kecenderungan menonton telvisi terlalu lama akan meningkatkan angka obesitas pada anak-anak. Hal yang sama berlaku bagi anak yang lebih suka bermain games atau komputer dibanding anak yang bermain-main di luar bersama teman-teman. Saat nonton televisi atau main game, terjadi ketidakseimbangan energi yang masuk dan yang digunakan.
Melihat dampak negatif dari media massa, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu filter masyarakat terhadap tayangan televisi belum kuat dan banyak orangtua tidak punya pedoman dalam mengawasi anak menonton, maka timbul pertanyaan apakah KPI bisa mengatur penyiaran atau pengawasannya harus diperkuat. Begitu juga dengan kehadiran internet di sekolah apakah sudah diperhitungkan dampaknya dan siapa yang mengatur penayangannya yang tidak kalah negatif dari tayangan televisi. Diperlukan kesadaran pembuat program siaran, pemerintah juga harus melakukan kontrol. Prime time harus diberi porsi yang menuju cita-cita bangsa.
Tidak ada artinya jika kita terus menerus menyalahkan media televisi sebagai biang kerok kerusakan moral dan kepribadian anak-anak. Karena media televisi sebagai media informasi dan hiburan akan terus hadir dengan segala kontroversinya di tengah-tengah kita. Di sisi lain televisi, internet atau media elektronik lainnya sebenarnya memiliki manfaat positif. Melalui televisi anak bisa belajar bahasa, film-film dokumenter bisa menambah pengetahuan anak tentang ilmu, sejarah, maupun geografi. Nilai positif itu bisa diperoleh anak-anak, bila acara atau jenis permainan yang bersifat edukatif dan menghibur.

Tanggungjawab Orangtua
Apa yang akan terjadi apabila anak-anak dibiarkan menonton seenaknya? Bisa dibayangkan betapa buruknya tingkah laku mereka. Kalau tidak ditangani dengan serius, mereka akan terjerumus ke dalam kehancuran. Semua pihak bertanggung jawab menyelamatkan mereka. Namun orangtualah pihak yang paling bertanggung jawab. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan orangtua untuk menghindarkan anak dari dampak negatif televisi.
Pertama, memilihkan acara yang pantas ditonton. Jangan biarkan anak-anak memilih acaranya sendiri. Beri anak pengertian agar ia akan tahu mana tayangan yang pantas ditonton dan mana yang tidak.
Kedua, mengatur waktu menonton. Waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi menurut survei yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, sebanyak 36 jam seminggu atau sekitar lima jam sehari. Menonton televisi dengan waktu selama itu tentu tidak sehat. Waktu yang relatif aman untuk menonton adalah dua jam sehari. Ada penelitian lain menyebutkan bagi anak di bawah dua tahun dianjurkan untuk tidak menonton televisi.
Ketiga, melibatkan anak dalam membuat aturan. Jelaskan kepada mereka mengapa harus mengatur waktu menonton. Buat kesepakatan bersama.
Keempat, dampingi mereka. Walaupun sudah dipilihkan acara yang baik, mereka tetap harus didampingi. Keikutsertaan orangtua akan membantu mereka untuk memahami apa yang dilihat. Jelaskan mana yang bisa ditiru dan mana yang tidak. Ini adalah kesempatan untuk mengajarkan akhlak kepada anak.
Kelima, berdisiplin dari diri sendiri. Orangtua adalah figur yang ditiru oleh anak. Kalau orangtua disiplin, maka anakpun akan disiplin, begitu pula sebaliknya. Karena itu, mulailah berdisplin dari diri orangtua. Patut diperhatikan bahwa banyak orangtua yang tidak tahan dengan aturan yang pernah dibuat.
Keenam, membangun kerjasama dengan pihak lain. Komunikasikan kekhawatiran kita kepada pihak lain di rumah (kalau ada oranglain di rumah, seperti nenek, mertua dll). Jangan lupa komunikasikan juga kepada lingkungan sekitar, karena anak itu juga dibentuk oleh lingkungannya.

Daftar Pustaka :

astaga.com/hidup-gaya/index.php?cat=163&id=106488 - 22k -
http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=963&tbl=artikel
http://www.sahabatnestle.co.id/homev2/main/dunia-dancow/tksk_sd.asp?id=1160
http://republika online/suplemen/cetak_detail.asp?mid=7&id=242791&kat_id=105&kat_id1=232 http://www.e-psikologi.com/sosial/111206.htm1 - 20k